Powered By Blogger

Rabu, 16 Desember 2009

kita, mahasiswa yang menafikkan cita-cita luhur pendahulu kita, yang meminum darah darah pendahulu yang tumpah memerjuagkan bangsa.

Jelas ini adalah negri impian.

Yang hanya sanggup bermimpi tanpa ada perubahan.

Jelas kita mengininkan negri yang tidak bersih.

Jika para pemudanya masih terkontaminasi.

Apakah kalian tidak malu dengan apa yang kita perbuat ?

Kita, mahasiswa yang menafikkan cita-cita mulia pendahulu kita.

Kita, telah menjilat ludah yang telah busuk di tong sampah,

Kita, yang menyusu dalam kancut-kancut penggila kekuasaan.

Tahu apa kalian tentang politik, tentang kebusukan dan sarang orang-orang munafik.

Kalau tak tahu tutup saja mulutmu itu.

Dengan gampangnya kalian dijadikan babu orang-orang goblok,

Tak ubahnya kalian sendiri yang goblok !

Sekarang kalian pikir, apa bangsa yang bersih butuh pemerintahan yang bersih,

Sudah jelas bahwa pemeritahan bersih butuh pemulihan yang bersih pula.

Berani-beraninya kalian terang-terangan mengotorinya ?

Coba kalian pakai otak-otak udang kalian, aku atau kah kalian yang telah terhasut.

Kalian hanyalah bangsat-bangsat yang memedulikan kepentingan sendiri.

Buka mata kalian !

Dunia ini tidak hanya ada kau, kau dan dia.

Lihat, jelas bereka berbuat salah, mengapa kalian menirunya saudaraku ?

Jumat, 04 Desember 2009

Engkau Tak Akan Pernah Terganti


"Bismillahi rahmani rahim, wa tin wa zaitun, wa thuri sinin, wa hadzal baladil amin, laqad khalaqnal insana fii ahsani taqwim" Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, begitu pula ibuku yang sungguh luar biasa.

Tahukah kalian betapa resah seseorang yang tinggal di daerah lereng gunung, mendengar bahwa daerah tempat tinggalnya akan terjadi bencana. Ratusan orang berbondong-bondong menuju pengungsian yang letaknya cukup jauh dari pemukiman mereka, terlihat disana para ibu yang menggendong anaknya dan para lansia diangkut dengan bak truk yang tak sepantasnya mereka naiki, menuju ke pengungsian, sementara para pria berjalan kaki dan sisanya tetap tinggal dan memantau kondisi. Demikian yang terjadi Sembilan belas tahun lalu di pemukimanku di kecamatan Nglegok, Blitar.

Aku yang saat itu masih belum tahu apapun tentang dunia, bahkan melihatnya pun aku tak mampu, namun aku dapat merasakan keresahan dan kecemasan seseorang yang hingga kini masih memelukku dan tak melepaskannya, aku yakin, aku akan aman di dalam rahimnya, dialah ibuku.
Ketika Gunung Kelud meletus pada waktu itu, kawasan Kali Badak mempertontonkan fenomena ganasnya situasi saat itu, 2,5 juta meter kubik air kawah hampir tak mampu di bendung kantong-kantong lahar yang ada saat itu. Sementara itu, abu vulkanik dan pasir menyebar luas bagai jubah malaikat yang dikembangkan menutupi seluruh kawasan lereng gunung, sang malaikat tidak hanya mengembangkan jubahnya, tetapi juga membawa 34 nyawa peduduk di pengungsian. Namun dalam siang yang gelap tersebut, ibu tetap saja mendekapku, tak sekalipun ia berniat melepasku, walau aku ingin sekali melihat betapa kekuasaan Allah yang maha dahsyatnya, dan mengucapkan kalimat Allah seperti yang ibu ucapkan. Aku masih disini, di dalam rumah kayu yang terus dihujani abu, di dalam rahim ibu.
***
Sepuluh tahun berlalu, ibu meninggalkanku, meninggalkan ayah dangan studio fotonya, meninggalkan adik yang belum tahu apa-apa. Dia pergi merantau ke kota yang jauh, membagi ilmu yang dia punya, kepada anak orang lain, dia menjadi guru di kota lain, menjadi ibu dan teladan bagi anak orang lain. Ibuku menjadi guru SD di Kota Sampang, Madura.

“Kurang cukupkah hasil studio foto ini hidupi keluarga kita? Jauh-jauh kau merantau, jadi guru, anakmu kau tinggal.” Ayahku kesal, dengan kepergian ibu. Saat itu ayah mempunyai usaha studio foto di sebelah rumah.

“Sudahlah, tak apa-apa, nanti setiap sabtu minggu aku akan pulang, kita masih bisa berkumpul walau hanya sabtu minggu. Aku sudah mantap dengan niat baik ini, tidak baik jika niat baik tidak dilaksanakan, bukankah bapak juga ingin punya lahan sendiri untuk ditanami, lumayankan hasilku merantau bisa sedikit membantu mewujudkan keinginan bapak ?”

Ah ibu, apa yang dia pikirkan, aku tak mengerti semuanya, atau memang aku yang belum saatnya mengeti hal itu. Aku seolah menjadi orang yang terasing dalam kesendirianku sendiri, aku terpaku dalam suasana itu, ketika ibu berkemas hendak meninggalkan kami bertiga. Esok pagi-pagi sekali aku telah kehilangannya, cemas yang merangkul dan menikamku terus menerus, seolah esok dia akan pergi untuk ribuan tahun bahkan esok adalah pagi terakhir dimana aku masih dapat memanggil dia “ibu”.

Langit sore ini begitu tak cerah, dengan warnanya yang merah dan beberapa awan bertebaran. Sore itu serasa pagi hari, namun bukan hawa sejuk yang kurasa, melainkan kering panas seperti siang hari. Aku keluar rumah dan mencoba menorehkan suasana sore itu dalam buku gambarku, ini adalah sore pertama ibu meninggalkan rumah. Aku tak peduli dengan kesibukan ayah mengurusi adik, satu per satu goresan awan yang tertutupi rimbunan atap rumah perkampungan, aku torehkan dengan krayon warna-warni yang ibu belikan beberapa hari lalu. Aku kecil begitu lihai melukis suasana sore itu, hal yang bahkan tidak bisa dilakukan anak yang seumur denganku. Seni adalah gnonsis sanguinis. Ya, ilmu yang dapat ditularkan melalui darah, bisa dikatakan keluarga telah mewariskan darah seni ke dalam tubuhku ini, ke dalam tangan-tanganku dan jiwaku. Ibu, andai kau ada disini, akan kutunjukan betapa hebat anakmu ini, betapa hebat dirimu mempunyai aku, dan betapa hebat aku memilikimu.
Sepertinya baru kemarin ibu marah kepadaku, ketika aku belum pulang walau malam telah larut, ayah yang kesana-kemari mengelilingi seluruh kampung mencariku, sementara ibu yang mondar-mandir di depan rumah dengan cemas. Tak lama kemudian ayah menemukan diriku yang sedang asyik bermain di rumah teman padahal jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, tanpa basa-basi aku segera diseret pulang ke rumah, tidak hanya itu, sesampainya di rumah giliran ibu yang menyambutku dengan omelan yang mendera diriku hingga malam itu aku hampir tak bisa tidur.

“Kriii...iing...Kriiii..ing.....”, telepon rumahku berbunyi, aku harap itu adalah telepon dari ibu, sudah dua minggu beliau belum pulang, kabarpun tak menyambang ke sini, aku merasa hati ini tak enak, tapi bagaimanapun aku harus tetap berbaik sangka, siapa tahu kali ini ibu menelponku dan mencurahkan segala kerinduan kepada anaknya ini walaupun tiap akhir pekan beliau pulang, tapi rasanya tak cukup bagi ku terobati rindu ini.

“Halo, Assalamualaikum, benar ini rumah ibu Sri Anik? “ suaranya aneh, aku belum penah mengenalnya, begitu asing bagiku, jelas ini bukan suara ibuku. Aku mendengar sebuah kegelisahan pada suara penelpon, sepertinya ada sesuatu hal penting yang ingin disampaikannya tapi dia enggan mengatakannya secara gamblang dan terus terang.

“Benar, ini siapa yah..” jawabku.

“Ini putrinya bu Sri Anik ya, saya temannya ibu kamu dik. Ohya bapak kamu mana, ada hal yang mau disampaikan kepada bapak kamu, tolong panggilkan yah ?”

Mengapa mesti ayah, mengapa wanita ini tidak langsung menyampaikannya padaku, toh aku juga anaknya, dan dia juga ibuku sendiri, apa mungkin ada yang disembunyikan dari wanita ini kepadaku, sepertinya ada hal yang sangat penting tentang ibu yang hanya ayah saja yang boleh mengetahuinya. Aku cemas, pikiranku tak karuan, aku menaruh gagang telepon seraya memanggil ayah. Ayah terlihat begitu tergopoh-gopoh dan setengah berlari lantas menyambar gagang telepon. Aku lihat sebuah pembicaraan yang sangat serius saat itu, raut muka ayah begitu berbeda beberapa saat kemudian, ta seperti tadi sore yang masih riang bersemangat. Ada apakah ini, apa yang terjadi ?

Seketika ayah menaruh gagang telepon dengan perasaan berbeda dengan waktu ayah menyambarnya tadi, aku langsung bertanya apa yang mereka bicarakan tadi, ada apa dengan ibu, apa yang terjadi, apakah ibu baik-baik saja, kapan ibu pulang ? Namun ayah hanya berkata, “Semua baik-baik saja, besok ibumu pulang, tapi ayah diminta menyusul ke sampang, mungkin dia bawa oleh-oleh banyak.”

Oleh-oleh? Sudahlah, aku melihat ada yang kau sembunyikan dariku, jangan kau tutupi dengan lelucon ini, jangan memberi aku harapan hari ini dan memberiku kenyataan pahit esok hari. Aku menjadi lebih tak mengerti.
Esok hari, pagi-pagi benar sebelum shubuh, bahkan ayam di kandang belum terjaga apalagi adikku, ayah membangunkan aku. Ayah berpamitan hendak menjemput ibu ke Sampang, nanti sore akan tiba di rumah, dia juga menyiapkan sarapan untuk kami berdua dan menitipkan urusan rumah untuk beberapa jam nanti.
***

Adzan Maghrib sudah berkumandang namun ayah dan ibuku belum juga datang, aku bingung bila mereka tak juga datang sampai malam ini. Aku mulai cemas.

Dua jam kemudian, kulihat sebuah becak dengan dua penumpang berhenti persis di depan rumahku, kemudian salah satu penumpangnya turun membuka pagar, kemudian mereka berdua masuk ke dalam rumah, namun penumpang satunya berjalan dituntun seperti tidak bisa berjalan sendiri, mereka adalah ayah dan ibuku.

Ibu terpaksa pulang karena ada saraf tulang belakangnya terjepit akibat terjatuh beberapa hari yang lalu.

“Ibu tidak apa-apa kok, hanya terjatuh, lagipula sidah dipijatkan di tukang urut, beberapa hari lagi insya Allah sudah sembuh, jangan sedih yah ?” Kata-kata yang terlontar dari bibir lembutnya hanya bisa membuatku menangis.

Selama enam bulan ibu tergolek lemah di kamarnya, sakit yang diderita enam bulan lalu masih menyisakan pilu, menunjukan betapa perjuangan sosok seorang ibu membantu perekonomian keluarga, dan ini aku sedikit lega, ibu kembali pulih sakitnya.

Aku senang sekali akan hal ini, pikiran buruk tentang apa yang akan terjadi pada ibu tenyata tidak terjadi, aku tak ingin ini terjadi lagi, aku ingin ibu tak hal seperti ini menimpa seorang yang aku sayangi selama ini, seseorang yang amat perkasa yang menggendongku selama sembilan bulan dalam rahim tanpa mengeluh sekalipun.

Namun kebahagiaan ini hanya sementara, sempat aku berfikir aku dan keluargaku berhasil melewati cobaan yang diberikan oleh Allah ini. Cobaan itu belum berakhir, setelah sembuh dari sakitnya ibu berniat kembali mengajar di Sampang seperti dulu. Ayah sudah menjual rumah yang kami tinggali kini dan membali sepetak lahan untuk kebun, sementara kami tinggal mengontrak rumah hingga kini. Ayah berharap dengan usahanya berkebun di lahannya sendiri akan lebih mampu menghidupi keluarga dengan layak dan lebih baik dari yang lalu, namun ibu tetap berniat untuk meninggalkan kami lagi. Beberapa bulan setelah ibu kembali ke Sampang untuk mengajar, ibu jatuh sakit, badannya meriang, panas dan merasa kelelahan berkepanjangan, di sekujur tubuhnya timbul bercak merah, persendiannya terasa sakit dan kerap bengkak. Ibu kembali pulang ke rumah.

Dokter di puskesmas tak mampu menangani sakit yang diderita ibu ini sementara aku hanya bisa cemas. Ayah kemudian memutusakan untuk merujuk ke rumah sakit di Surabaya. Kata dokter ibuku terkena penyakit lupus, penyakit kelainan autoimunitas yaitu antibodi yang berlebihan yang malah menyerang dan merusak jaringan sel tubuh sendiri. Hasilnya, proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit. Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan terganggu. Dan yang paling membuatku tercengan kaget adalah penyakit ini belum ada obat untuk menyembuhkannya dan penyakit ini sangat langkah. Oh ibu, andai aku bisa, aku rela dan ingin sekali menggantikan posisimu saat ini, aku tak mampu bila harus menangis setiap hari sepanjang umurku melihat engkau tersiksa seperti ini, biarlah aku yang menanggungnya, engkau sudah banyak berkorban demi dariku, ijinkan aku membalas semua apa yang engkau lakukan demi aku. Andai aku bisa.
***

Beberapa bulan kemudian kehidupan berjalan seperti biasa, namun aku sekarang yang malah meninggalkan beliau, kini aku berada di Surabaya untuk menuntut ilmu, aku mampu berkuliah di Universitas Airlangga melalui jalur pmdk prestasi, bahkan aku kini mendapat beasiswa fullscholarship dari kampusku selama empat tahun penuh. Aku ingin memenuhi keinginan beliau melihat aku diwisuda sebagai seorang sarjana dan aku tak ingin memberatkan beliau dalam mengenai kebutuhan kuliah dan hidup selama di Surabaya kini karena aku tahu, tak kecil dana yang dikeluarkan setiap bulan untuk biaya beliau kontrol rutin di Surabaya. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, aku harus membuat ibuku tesenyum selalu.

Ayah masih tetap bekerja di kebunnya sendiri untuk menghidupi keluarga dan membayar konrakan rumah, ayah juga yang mengurus semua masalah rumah sementara ibu kini tetap mengajar walau tidak di luar kota. Adikku telah banyak berubah, tidak lagi nakal seperti dulu, kini dia penurut pada orang tua, ucapannya pun kini santun. Dan aku, gadis kecil yang merantau meninggalkan mereka semua demi menuntut ilmu, demi mengejar impian besarku, demi membawa nama keluargaku, dan demi membahagiakan ibu seperti janjiku.

“Tidak ada kata yang ingin saya ucapkan kepada ibu yang melahirkan saya selain ucapan terima kasih. Atas semua jasa, perhatian, dan kasih sayang yang telah engkau berikan bahkan saat saya masih dalam kandungan, sampai saya dewasa. Rasanya apa yang selama ini saya lakkan tidak ada apa-apa dibandingkan yang telah ibu berikan kepada saya. Kini ibu menderita sakit yang mungkin akan membutuhkan obat seumur hidup dan dengan segala keterbatasannya, saya hanya bisa membantu dan mendoakan agar beliau sembuh, tidak merasa sakit setiap harinya. Saya ingin ibu saya selalu tersenyum bahagia dan saya pasti bisa mewujudkannya.”


Kisah ini saya tulis untuk sahabat saya yang begitu luar biasa, anika shindya dewi, yang kini ibunya terkena penyakit lupus dan bertarung mempertahankan hidup. Saya berjanji jika saya berhasil memenangan lomba ini, maka hadiah akan saya berikan kepada Ibu Sri Anik sebagai rasa terima kasih telah mengizinkan saya menuliskan kisah hidupnya dan penghormatan saya mendapatkan pelajaran tentang kasih saying seorang ibu, mungkin saya belum pandai menulis, tapi tulisan ini akan saya jadikan hadiah hari ibu kepada ibu saya.